Makalah berikuti ini merupakan penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin, yang
diangkat dari muhadharah beliau di Universitas Jami'ah Islamiyah, … pada
tanggal 9 Rajab tahun 1419H, kemudian disusun dalam sebuah risalah yang
berjudul At Tamassuk Bi Sunnah Wa Atsaruhu, dan diterjemahkan dengan
sedikit ta’liq (tambahan) oleh Ustadz Abu Sulaiman Aris S.
________________________________________________________________________
1. Bulan Rajab, adalah satu diantara bulan haram yang empat (Dzulqa'dah,
Dzulhijjah, Muharram, tiga bulan yang berurutan, kemudian yang keempat
adalah Rajab, yang diapit oleh bulan Jumada, yakni Jumada Tsaniah dan
Sya’ban). Empat bulan ini memiliki kekhususan yang sama, tanpa
terkecuali bulan Rajab.
Para ulama berselisih pendapat, diantara empat ini, mana yang paling
baik. Sebagian Syafi'iyah berkata: “Yang paling baik adalah Rajab”.
Tetapi pendapat ini dilemahkan oleh Imam Nawawi dan yang lainnya.
Sebagian ulama berpendapat: “Bulan Muharram”. Ini adalah pendapat Al Hasan dan dikuatkan oleh Nawawi.
Sebagian ulama berkata: ”Bulan Dzulhijjah”. Pendapat ini diriwayatkan
dari Sa'id bin Jubair dan selainnya. Dan inilah yang lebih kuat.
Demikian, sebagaimana dinukil dalam kitab Al Latha'if, karya Ibnu Rajab
Al Hambali.
Saya berkata (Syaikh Ibnu Utsaimin): Pendapat ini adalah benar. Karena
dalam bulan Dzulhijjah terdapat dua keistimewaan. Yaitu, Dzulhijjah
termasuk bulan-bulan haji, yang padanya terdapat hari Idul Adha. Dan
yang kedua, karena Dzulhijjah termasuk bulan-bulan haram.
2. Bulan Rajab adalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang Jahiliyah,
yakni mereka mengharamkan perang pada bulan-bulan tersebut, sebagaimana
pada bulan-bulan haram lainnya. Kaum muslimin berbeda pendapat tentang
haramnya berperang pada bulan ini.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa haramnya berperang pada bulan ini
adalah mansukh (telah dihapus hukumnya) dan boleh memulai berperang.
Yaitu memerangi orang-orang kafir pada bulan Rajab dan bulan-bulan haram
lainnya, karena adanya dalil-dalil yang umum dalam masalah ini.
Akan tetapi pendapat yang benar, bahwa memulai berperang pada bulan
Rajab hukumnya haram. Namun jika mereka (musuh, Red.) memerangi kita,
atau perang tersebut merupakan kelanjutan dari bulan-bulan sebelumnya,
maka tidaklah mengapa.
3. Bulan Rajab diagungkan oleh orang-orang Jahiliyah dengan berpuasa.
Akan tetapi tidak ada dalil yang shahih dari Nabi dalam masalah
mengkhususkan puasa pada bulan Rajab ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa 25/290 berkata:
Berpuasa pada bulan Rajab secara khusus diriwayatkan dari hadits-hadits
yang semuanya dha'if, bahkan palsu. Sedikitpun tidak diakui oleh para
ulama. Tidak termasuk dha'if yang diriwayatkan di dalam fadha'ilul
a'mal, bahkan seluruhnya adalah maudhu' …,” hingga Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata,”Telah diriwayatkan dari Umar dengan jalan yang
shahih. Bahwa Umar memukul tangan-tangan kaum muslimin, sehingga mereka
meletakkannya di atas makanan pada bulan Rajab, sambil
mengatakan,”Janganlah kalian menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.”
Dan suatu ketika, Abu Bakar Ash Shiddiq masuk ke rumahnya, dan melihat
keluarganya telah membeli satu bejana tempat air. Mereka bersiap-siap
untuk berpuasa. Kemudian beliau bertanya,”Untuk apakah ini?” Mereka
menjawab,”Untuk berpuasa pada bulan Rajab.” Beliau berkata,”Apakah
kalian ingin menyerupakannya dengan bulan Ramadhan?” Kemudian beliau
memecahkan bejana tersebut.
Al Hafizh Ibnu Rajab menyebutkan atsar dari Umar, seperti yang
disebutkan dalam Majmu Fatawa. Beliau menambahkan: “Dahulu, bulan Rajab
begitu diagungkan oleh orang Jahiliyah. Ketika datang Islam, kemudian
ditinggalkan”.
4. Bulan Rajab diagungkan oleh bangsa Arab. Mereka mengerjakan umrah
pada bulan ini. Karena mereka pergi haji pada bulan Dzulhijjah.
Sedangkan Rajab adalah pertengahan tahun yang dihitung dari Muharram.
Oleh karena itu, mereka mengerjakan umrah, agar Ka'bah menjadi makmur
dengan orang yang haji dan umrah pada pertengahan dan akhir tahun.
Ibnu Rajab di dalam Al Latha'if berkata: Disunnahkan oleh Umar untuk
umrah pada bulan Rajab. Dan dahulu, 'Aisyah dan Ibnu Umar
mengerjakannya. Ibnu Sirin menukilkan, bahwa dahulu, para salaf
mengerjakannya. [1]
5. Pada bulan Rajab terdapat shalat yang dinamakan dengan Shalat
Raghaib. Dikerjakan malam Jum'at pertama antara Maghrib dan Isya',
sebanyak 12 raka'at dengan sifat yang aneh, sebagaimana dijelaskan Ibnu
Hajar di dalam kitab Tabyinul 'Ajab Bima Warada Fi Fadhli Rajab.
An Nawawi di dalam Syarah Al Muhadzdzab 3/548, berkata: "Shalat yang
dikenal dengan shalat Raghaib, yaitu 12 raka’at, dikerjakan antara
Maghrib dan Isya' pada malam Jum'at pertama bulan Rajab, dan demikian
pula shalat Nishfu Sya'ban 100 raka’at. Kedua macam shalat ini adalah
bid'ah yang munkar. Janganlah engkau tertipu dikarenakan kedua shalat
ini disebutkan di dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya' Ulumuddin. Semua
hadits-hadits yang disebutkan di dalamnya adalah batil. Jangan tertipu
dengan sebagian ulama yang terkena syubhat dalam masalah ini, yang
mengarang suatu risalah disunnahkannya shalat ini; karena mereka salah
dalam masalah ini. Dan Al Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma'il Al
Maqdisi telah mengarang kitab yang menerangkan mengenai batilnya dua
shalat tersebut".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Majmu Fatawa 23/124, berkata:
“Menurut kesepakatan ulama, shalat Raghaib adalah bid'ah, tidak
disunnahkan oleh Rasulullah dan (tidak pula) oleh seorangpun dari
Khulafaur Rasyidin. Dan tidak dianggap sebagai sunnah oleh para imam,
seperti Malik, Asy Syafi'i, Ahmad, Abu Hanifah, Ats Tsaury, Al Auza'i,
Al Laits dan yang lainnya. Sedangkan menurut kesepakatan ahlul hadits,
hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini adalah palsu".
Ibnu Rajab di dalam Al Latha'if, berkata: "Tidak ada (riwayat) yang sah
pada bulan Rajab suatu shalat tertentu. Adapun hadits-hadits yang
diriwayatkan tentang keutamaan shalat Raghaib pada malam Jum'at pertama
dari bulan Rajab adalah palsu dan tidak shahih".
Beliau (Ibnu Rajab) berkata: “Para ulama mutaqaddimin tidak
menyebutkannya, karena hal ini ada dan muncul sesudah zaman mereka”.
Pertama kali dikenal setelah tahun 400-an hijriah, sehingga tidak
dikenal oleh ulama mutaqaddimin.
Asy Syaukani di dalam Al Fawa'id Al Majmu'ah, halaman 48, berkata: “Para
huffazh telah sepakat, bahwasanya shalat Raghaib adalah berdasarkan
hadits yang palsu. hingga beliau berkata,’Kepalsuan haditsnya tidak
diragukan lagi oleh orang yang memiliki sedikit pemahaman terhadap
hadits’.
Al Fairuz Abadi di dalam Al Mukhtashar, berkata, bahwa hadits tersebut
palsu berdasarkan kesepakatan ulama. Demikian pula dikatakan oleh Al
Maqdisi.
Asy Syaukani menyebutkan di dalam kitab tersebut satu hadits tentang
keutamaan shalat pada malam pertengahan bulan Rajab, kemudian beliau
mengomentari: “Diriwayatkan oleh Al Jauzqani dari Anas secara marfu'.
Tetapi hadits ini adalah maudhu', dan para rawinya adalah orang-orang
majhul”.
6. Pada bulan Rajab, banyak orang datang ke kota Madinah untuk
berziarah. Mereka menamakannya "Rajabiyah". Mereka berkeyakinan, bahwa
hal ini sebagai sunnah mu'akkadah. Mereka pergi untuk berziarah ke
beberapa tempat. Sebagian dari ziarah ini disyari'atkan, seperti ziarah
ke masjid Nabawi, ke masjid Quba', ke kubur Nabi, dan kubur dua orang
sahabatnya (ya'ni Abu Bakar dan Umar, serta kubur para syuhada' Uhud).
Dan (ziarah ini) ada yang tidak di syari'atkan, seperti ziarah ke masjid
yang dinamakan masjid Ghamamah, masjid kiblatain dan masjid-masjid yang
tujuh.
Ziarah Rajabiyah ini tidak ada asalnya di dalam perkataan Ahlul Ilmi.
ampaklah, hal ini baru saja muncul pada masa-masa terakhir ini.
Tidak diragukan lagi, bahwa masjid Nabawi merupakan satu diantara tiga
masjid yang disyari'atkan untuk ziarah kepadanya, ya'ni Masjidil Haram,
Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha’. Akan tetapi, mengkhususkan ziarah
pada bulan tertentu, atau hari tertentu, maka hal ini memerlukan dalil,
dan (sesungguhnya) tidak ada dalil yang mengkhususkan bulan Rajab dengan
hal itu. Sehingga, meyakininya sebagai sunnah untuk mendekatkan diri
kepada Allah pada bulan ini, adalah termasuk bid'ah yang tertolak.
Karena sabda Rasulullah:
"من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد"
Barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintah kami, maka dia akan tertolak.
Dalam lafadz yang lain:
"من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد"
Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara kami yang tidak ada
perintah darinya, maka dia tertolak. (Yakni ditolak dari pelakunya).
7. Pada bulan Rajab, terjadi peristiwa Isra' dan Mi'raj, sebagaimana
telah masyhur di kalangan kaum muslimin pada masa-masa terakhir ini,
(yang terjadi) pada malam ke 27. Mereka mengadakan beberapa perayaan.
Dan barangkali mereka menjadikan hari itu sebagai hari libur resmi.
Padahal hal ini memerlukan penelitian dua masalah yang penting. Pertama,
dari segi tarikh (kepastian peristiwa). Kedua, apakah dengan mengadakan
perayaan ini termasuk ibadah?
Masalah yang pertama, para ulama telah berselisih pendapat. Ibnu Katsir
menyebutkan di dalam kitab Al Bidayah Wan Nihayah 3/119, Cetakan Al
Fajjalah, dari Az Zuhri dan Urwah: “Bahwa Isra' Mi'raj terjadi satu
tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah”. Yakni pada bulan Rabi'ul Awwal.
Dari As Suddi, beliau berkata: “Terjadi 16 bulan sebelum hijrahnya Rasulullah ke Madinah”. Yakni pada bulan Dzulqa'dah.
Al Hafizh Abdul Ghani bin Surur Al Maqdisi membawakan satu hadits, namun
tidak sah sanadnya, bahwasanya Isra' Mi'raj (terjadi) pada malam 27
bulan Rajab.
Sebagian orang berkeyakinan, bahwa Isra' Mi'raj terjadi pada malam
Jum'at pertama bulan Rajab. Mereka menamakan malam raghaib, yang
disyari'atkan untuk shalat (shalat Raghaib), padahal tidak ada dalilnya.
Wallahu a'lam. Sampai disini perkataan Ibnu Katsir.
As Saffarini menyebutkan di dalam Syarah Aqidah-nya 2/280, dari Al
Waqidi dari rijalnya: Bahwa Isra' Mi'raj (terjadi) pada malam Sabtu, 17
Ramadhan tahun ke12 dari kenabian, 18 bulan sebelum hijrah. Dan
diriwayatkan pula dari para gurunya, mereka berkata: Rasul diisra'kan
pada malam 17 bulan Rabi'ul Awwal, satu tahun sebelum hijrah. Abu
Muhammad Ibnu Hazm mengaku adanya Ijma'. Demikian ini pendapat Ibnu
Abbas dan 'Aisyah.
Kemudian As Saffarini menyebutkan satu perkataan dari Ibnul Jauzi: Isra'
Mi'raj terjadi pada bulan Rabi'ul Awwal, atau Rajab, atau Ramadhan.
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari 7/203, bab Al Mi'raj,
dari Shahih Al Bukhari: Bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini
(terdapat) lebih dari 10 pendapat.
Diantaranya, satu tahun sebelum hijrah. Demikian ini pendapat Ibnu Sa'ad dan lainnya, dan (yang) dianggap tepat oleh An Nawawi.
Pendapat yang lain, 8 bulan sebelum hijrah, atau 6 bulan, atau 11 bulan,
atau 1 tahun 2 bulan, atau 1 tahun 3 bulan, atau 1 tahun 5 bulan, atau
18 bulan, atau 3 tahun sebelum hijrah, atau 5 tahun.
Ada (pula) pendapat yang mengatakan, terjadi pada bulan Rajab.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, dan dikuatkan oleh An Nawawi di dalam
kitab Raudhah. Akan tetapi sebagian ulama tidak menjumpainya di dalam
Raudhah.
Syaikhul Islam berkata, seperti dinukil oleh muridnya Ibnul Qoyyim di
dalam Zaadul Ma'ad, ketika menyebutkan keistimewaan hari-hari dan bulan
tertentu daripada yang lainnya, beliau menjawab: “Orang yang mengatakan
bahwa malam Isra' lebih mulia daripada malam lailatul qadar, yakni dia
berkeyakinan bahwa shalat dan berdo'a pada malam Isra' yang dikerjakan
setiap tahunnya lebih afdhal, maka pendapat ini adalah batil. Belum
pernah dikatakan oleh seorangpun dari ummat ini. Sangat jelas
kebatilannya menurut agama Islam. Hal ini, jika telah diketahui waktu
terjadinya malam Isra' mi'raj dengan pasti. Namun, bagaimana jika belum
diketahui dalil ynag menetapkan bulannya atau detailnya? Bahkan
nukilan-nukilan dalam masalah ini terputus dan berbeda-beda. Tidak
terdapat kepastian padanya, dan tidak disyari'atkan bagi kaum muslimin
untuk mengkhususkan suatu shalat atau ibadah lainnya pada malam yang
diyakini sebagai malam Isra' dan Mi'raj …, hingga beliau berkata: Tidak
seorangpun dari kaum muslimin yang meyakini malam Isra' lebih lebih baik
dari yang lainnya, terlebih dengan malam lailatul qadar. Demikian pula
para shahabat dan tabi'in, mereka tidak mengkhususkan malam ini, dan
mereka tidak mengenalnya. Bahkan tidak dikenal kapan terjadinya malam
itu".
Ini masalah pertama yang ada kaitannya dengan Isra' Mi'raj. Telah jelas bahwa malam tersebut belum diketahui kapan terjadinya.
Adapun masalah yang kedua, yaitu menjadikan malam tersebut sebagai 'id,
yang dirayakan dan diadakan muhadharah, serta dibacakan hadits-hadits
yang dha'if atau palsu tentang kisah Isra' Mi'raj. Maka, tidak diragukan
lagi bahwa hal ini merupakan bid'ah yang diada-adakan di dalam agama
Islam. Apabila seseorang berlepas diri dari hawa dan mengetahui dengan
sebenarnya, maka perayaan-perayaan seperti ini tidak pernah dikenal pada
zaman sahabat dan para tabi'in. Dalam Islam tidak ada hari raya,
kecuali tiga. Yaitu idul fithri dan idul adha. Keduanya adalah ‘id yang
berulang setiap tahun, sedangkan yang ketiga adalah hari Jum'at, hari
raya setiap pekan. Tidak ada hari raya selain tiga ini.
Hendaknya diketahui, bahwa ittiba' Rasulullah yang sebenarnya adalah
dengan berpegang teguh terhadap sunnahnya, mengerjakan yang Beliau
kerjakan, meninggalkan sesuatu yang Beliau tinggalkan. Barangsiapa
menambah atau mengurangi, maka telah berkurang kadar mutaba'ahnya
(ketaatan) kepada Rasulullah. Menambah (permasalahan) di dalam agama
lebih berat …………, karena mendahului Allah dan RasulNya. Orang yang
berakal, adalah orang yang mengetahui bahwa perbuatan seperti ini
merupakan bencana yang besar. Sehingga seorang mukmin yang sempurna
adalah orang yang beribadah kepada Allah dengan syari'at Rasulullah. Dan
seseorang mempunyai kekurangan yang besar, apabila ia menambah
(sesuatu) pada syari'at Allah dan RasulNya.
Hendaknya seorang mukmin berhati-hati dari perbuatan bid'ah yang
dianggap baik oleh hawa nafsunya. Karena Nabi memperingatkan kita dari
hal itu, dan Beliau menyampaikannya dalam khutbah Jum'at. Beliau
berkata:
أما بعد:فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
Adapun sesudah itu, maka sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan sejelek-jelek perkara
adalah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah sesat. (Seperti ini
diriwayatkan dalam Shahih Muslim. Dan dalam riwayat An Nasa'i
(disebutkan):
وكل ضلالة في النار
Dan setiap kesesatan adalah di neraka.
Saya berdo'a kepada Allah untuk meneguhkan kita dengan perkataan yang
kuat di dunia maupun di akhirat. Dan semoga Allah melindungi kita dari
berbagai fitnah, baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Sesungguhnya
Dia Maha Pemberi dan Maha Pemurah.
Tanggal 11 Rabi'ul Awwal 1425H, bertepatan tanggal 1 Mei 2004M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VIII/1425H/2004.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh berkata: “Bahwasanya para
ulama mengingkari pengkhususan adanya memperbanyak ibadah umrah pada
bulan Rajab”. Dan Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz At Tuwaijiri di dalam
kitab Al Bida' Al Hauliyah, halaman 238, berkata: “Yang rajah, menurut
saya -wallahu a'lam- bahwasanya mengkhususkan bulan Rajab dengan umrah
itu tidak ada asalnya, karena tidak ada dalil syar'i yang
mengkhususkannya. Dan Rasulullah tidak pernah mengerjakan umrah pada
bulan Rajab. Seandainya hal ini terdapat keutamaan, pasti Beliau
menganjurkan ummatnya, karena Beliau orang yang bersemangat untuk
(berbuat) kebaikan, sebagaimana Beliau menganjurkan untuk mengerjakan
umrah pada bulan Ramadhan.
Adapun yang dikatakan sunnah oleh sahabat Umar bin Khathab, maka saya
belum menemukan sanadnya. Dan yang dinukil oleh Ibnu Sirin, bahwa para
salaf dahulu mengerjakannya, maka tidak terdapat dalil yang
mengkhususkan umrah pada bulan Rajab. Karena maksud mereka tidak untuk
mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah umrah, tetapi maksud mereka
-wallahu a'lam- ialah untuk mengerjakan haji pada satu kali safar dan
mengerjakan umrah pada safar tersendiri, untuk menyempurnakan haji dan
umrah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab dalam uraiannya yang
dinukil Ibnu Sirin dari para salaf”.