(tugas review kasus 'White Collar Crime')
Kasus
yang melibatkan Melinda Dee (47) membuka tabir kejahatan kerah putih (white
collar crime) dalam dunia perbankan. Model kejahatan kerah putih ini merupakan
evolusi tindak kejahatan dalam dunia moderen.
Dalam
sejarahnya di negara-negara maju, kejahatan ini disebut sebagai business crime
atau economic criminality. Hal ini karena pelaku kejahatan ini banyak
melibatkan para pengusaha, pegawai perbankan, lembaga keuangan dan para
pejabat. Pada awalnya kejahatan kerah putih banyak terjadi dalam birokrasi
pemerintahan.
Modusnya
adalah dengan memanfaatkan kerumitan dan ketertutupan birokrasi. Kerumitan
itulah yang menjadi lahan subur untuk dimanipulasi menjadi tindak kejahatan
seperti korupsi dan suap.
Kasus
Melinda Dee merupakan modus kejahatan kerah putih yang semakin canggih lagi.
Tindakan tersebut dilakukan dalam jaringan teknologi mutakhir. Dengan penerapan
sistem komputerisasi, dunia perbankan menjadi lahan subur bagi praktik
kejahatan seperti ini. Kejahatan model ini merupakan gejala masyarakat
industri.
Penggunaan
teknologi dalam masyarakat industri selain semakin efesien, juga memberi efek
negatif terutama dengan semakin efesiennya kejahatannya juga. Pada masyarakat
yang ter-computerized, pencurian dapat dilakukan hanya dengan memijit
tombol-tombol keyboard komputer yang terkoneksi pada jaringan internet. Maka
dalam jaringan sistem perbankan, seorang Melinda dapat dengan aman mengalihkan
miliaran uang nasabah pada rekeningnya sendiri.
White
collar crime merupakan kejahatan profesi. Pelakunya seringkali tidak menganggap
dirinya sebagai penjahat. Bahkan mereka dapat merasionalisasi tindakannya
sebagai bagian dari tuntutan profesi sebagaimana biasanya. Dalam prakteknya
mereka berjejaring dengan berbagai profesi lain. Karena itu, mereka disebut
juga sebagai kejahatan terorganisasi (organized crime). Kelompok tersebut
tergabung dalam jaringan yang dapat mentolelir atau bahkan mendukung
pelanggaran-pelanggaran. Karena dilakukan oleh orang-orang terhormat, hampir
tidak ada kritik serius dari masyarakat terhadap kasus seperti ini. Selain itu,
modus kejahatannya tertutup dan asing di masyarakat.
Dalam
kajian sosiologi kontemporer, fenomena kejahatan kerah putih muncul seiring
dengan semakin luasnya penggunaan perangkat komputer di masyarakat. Di
negara-negara Eropa dan Amerika yang sudah dulu maju, kejahatan model ini sudah
banyak terjadi. Sementara di negara berkembang, seperti Indonesia, kasus
Malinda Dee mungkin merupakan penanda gejala yang sama. Maka dengan semakin
banyaknya pelayanan masyarakat yang menggunakan sistem komputerisasi, maka
data-data elektronik akan menjadi target pelaku kriminalitas. Kasus kejahatan
kerah putih (white collar criminal) akan semakin meningkat dalam masyarakat
industri dan post-industri.
Faktor Pendorong
Para
ahli beranggapan bahwa tipe kejahatan ini merupakan ekses dari pekembangan
ekonomi dan adanya sikap masyarakat yang mementingkan aspek material-finansial
sebagai ukuran kehormatan. Dalam situasi seperti itu, kehidupan Melinda di
Jakarta dan dunia internasional yang glamor dapat dipahami. Beberapa hasil
studi di negara Eropa menunjukan bahwa dorongan utama pelaku kriminalitas jenis
ini adalah kebutuhan pribadi. Tetapi kebutuhan pribadi juga tidak bisa
dilepaskan dari faktor sosial yang mengkonstruksi terbentuknya hasrat memenuhi
kebutuhan pribadi tadi, misalnya sikap hedonisme, konsumerisme dan materialisme.
Sekilas
nampak tidak ada perbedaan antara white collar dan blue collar criminal.
Keduanya terdorongan karena alasan kebutuhan pribadi. Bedanya, pada kelompok
pelaku white collar crime tindakan kejahatan tersebut akan dapat dengan mudah
terpenuhi. Nafsu konsumerisme tadi justru muncul karena pelaku memegang peran
dan posisi jabatan yang penting. Lagipula kebutuhan mereka pasti jauh lebih
besar dan mahal dibanding pelaku tindakan kejahatan biasa (blue collar). Selain
itu, posisi mereka yang strategis seperti dalam kasus Melinda Dee sebagai
manager di sebuah bank bertaraf internasional memberikan peluang tindakan
tersebut. White collar crime terjadi karena situasi dan kondisi sosial memberi
ruang bagi tindak kejahatan seperti itu. Pelakunya datang dari kelas sosial
kelas atas seperti pejabat, manajer dan lain-lain.
Kejahatan
kerah putih yang sistemik di masyarakat kita terjadi karena lemahnya penegakan
hukum. Hukum di negara kita bisa dengan mudah diperjualbelikan dengan harga
negosiasi. Kejahatan kerah putih seakan berjalan sendiri dan menetapkan
kebijakan sejauh dapat memberikan peluang kepadanya untuk terus melestarikan
kepentingannya. Dalam kasus perbankan Indonesia, penggelapan uang di bank
terjadi karena lemahnya pengawasan BI terhadap bank-bank di Indonesia. Semakin
hari kehidupan masyarakat semakin terintegrasi dalam sistem komputer, baik
dalam wilayah pendidikan, industry dan perdagangan. Taransaksi ekonomi dan
perdagangan sudah menggunakan kartu kredit. Sayanagnya, tingginya penggunaan
kartu kredit (credit card) dalam pelayanan masyarakat ini, tidak diikuti dengan
pemahaman tentang cara kerja, resiko dan manfaat dari benda ini. Akibatnya
banyak terjadi penipuan dan kejahatan dengan memanfaatkan kebodohan pengguna
credit card ini. Pelaku kriminal dalam dalam masyarakat modern seperti ini,
dapat merampok uang rakyat tanpa senjata. Mereka dapat menjalankan aksinya
hanya dengan menggunakan kode-kode di komputer dan deretan nomor-nomor kartu
kredit atau no rekening bank.
Nampaknya,
penanganan terhadap pelaku kriminal ini tidak hanya cukup dengan menjeratnya
melalui hukum konvensional. Pemerintah dan dunia perbankan harus dapat
meng-update kecakapan teknologi. Jika tidak, para pelaku kejahatan kerah putih
dapat melenggang begitu saja, tanpa rasa bersalah dan bebas dari jeratan hukum.
Dede Syarif, Peneliti dan dosen Sosiologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sumber, Pikiran Rakyat
http://malingpro.blogspot.com/2012/05/malinda-dee-contoh-kasus-kejahatan.html (akses rabu, 28 november 2012, pukul 3.38am)
Tanggapan saya:
Sudah
tidak bisa dipungkiri bahwa kasus kerah putih sudah merajela di dunia dengan
dukungan kemajuan teknologi. Kasus Melinda Dee diatas merupakan contoh konkrit
dampak buruk dari kemajuan teknologi yaitu adanya penyalahgunaan jabatan dan
kemampuan mengakses informasi melalui jaringan internet dan kemajuan
teknologinya sendiri.\
Kasus
Melinda Dee yang menggelapkan uang nasabahnya sendiri bukanlah tindakan yang
dilakukan sendiri. Karena tindakan diatas sudah pasti banyak pihak yang
mengerti seluk beluk data nasabah bank itu sendiri, akses kompeterisasinya
(tekhnisi yang menguasai ilmu teknologi) dan para pejabat yang tidak kalah
penting. Hal ini sangat mendorong tindakan kasus kerah putih ini berhasil dalam
kurun waktu yang cukup lama.
Dan
hukuman yang tepat untuk kasus kerah putih adalah dengan MEMISKINkan para pelakunya. Karena hukuman pidana yang berlaku saat
ini di Indonesia (hukuman kurungan penjara dan denda uang) bukanlah hukuman
yang bisa membuat mereka para pelaku kejahatan kerah putih jera akan
tindakannya. Bahkan yang lebih parahnya lagi hukuman tersebut malah semakin
membuat pelakunya merasakan kebenaran dari tindakan yang dilakukannya. Sungguh
ironis bukan? Disaat rakyat yang dirugikan dengan tindakan mereka tapi proses
hukum yang berlaku justru memperlihatkan ketidak-proo-aktifan mereka dalam menyelesaikan kasus kerah putih sampai
tuntas dan memberikan efek sejera-jerahnya oleh pelaku sehingga tidak terulang
kembali kasus yang sama atau pelaku lain dalam kasus yang sama.
Solusi
untuk kasus kerah putih yang melibatkan Melinda Dee ini adalah dengan
pengamanan sistem akses terhadap database nasabah. Karena seyogyanya tindakan
bebas akses ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang mengetahui seluk-beluk
pendataan secara komputerisasi. Dan perlu adanya seorang audit yang
profoesional dalam menilai kinerja sistem informasi teknologi apakah sudah
sesuai dengan kinerja yang baik dalam melakukan sistem pencatatan data nasabah
sehingga kerahasiaan dapat terjamin. Pengauditan ini dilakukan secara continue
dan bertahap dengan kurun waktu yang intensif karena pendataan terhadap nasabah
di tiap harinya banyak sehingga bisa memperkecil dan menutup tindakan pengaksesan
secara bebas terhadap data nasabah yang dapat merugikan nasabah itu sendiri.
Dan tentunya sikap individu masing-masing pekerja yang HARUS mempunyai sikap dan mental yang loyal terhadap pekerjaannya
sehingga menjunjung tinggi nilai-nilai sosial di lingkungan pekerjaan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar